BERPULANG
Santo terpaku
di amperan[1]
rumah. Sambil mengayun-ngayunkan kakinya. Ia menatap jauh ke hamparan luas
sawah yang menjadi pemandangan indah bagi semua penduduk desa ini. Tanpak padi
kekunging-kuningan, iring-iringan pagi penduduk desa hendak berangkat ke sawah,
orang-orangan yang setia menunggui padi merunduk dari intaian burung-burung
yang hendak berbagi ceria di atas pematang sawah. Mengahanyutkan Santo larut
dalam lamunan, sementara dari dalam rumah terdengar pekikan batuk panjang,
kedengarannya mengiris hati, hingga Santo pun tersadar dari lamunannya. Segera
beranjak menghampirinya, mengelus, membetulkan selimut menutupi tubuhnya yang
tampak tinggal tulang dilapisi kulit keriput.
Seorang ayah
yang seharusnya menjadi nahkoda dalam keluarga ini, namun sekarang ia tak bisa
melakukan apa-apa lagi, terbaring kaku di tempat tidur. Seorang ibu yang harus
menggantikan posisi ayah, bekerja menjadi suruhan orang yang membutukan
jasanya, hanya demi menghidupi keluarga ini. Membiayai sekolah Santo, membeli
obat untuk suaminya, dan memenuhi kebutuhan lainnya dalam keluarga ini.
“ayah… Santo
ke pasar dulu” ucap Santo pada ayahnya yang terbaring lemas
Hanya kerdipan
matanya, menandakan bahwa sang ayah memperbolehkan Santo pergi ke pasar. Jalan setapak becek dilaluinya karena hanya
jalan inilah yang menghubungkan desa ini ke pasar, dan ke desa-desa tetangga.
Liburan sekolah yang biasanya diisi dengan jalan-jalan, bermain bersama
teman-temannya, tapi harus Santo habiskan bersama keluarga, menemani sang ayah
yang dicintainya, menggantikan pekerjaan rumah selama ibu bekerja. di pasar Santo
membeli semua kebutuhan keluarga, seperti yang ibunya pesankan, catatan kecil
di sakunya adalah daftar barang yang harus dibeli. Anak desa lainnya sedang
menikmati liburan sekolahnya, namun Santo tidak bisa seperti mereka, Santo
harus melakukan aktifitas ini, meskipun semua ini bukan keinginannya, tapi Santo
mampu sabar karena dari keluarga inilah yang selama ini mengajarkan banyak hal
tentang hidup, hingga remaja dan merasakan getirnya hidup.
#######
“Santo,
sudahkah kau tutup kandang ayamnya?” terdengar suara ibu datang bekerja
“Sudah Bu…” Santo sibuk masak di
dapur
Baju lusuh
yang selalu dipakainya saat berkerja, dan sebuah sabit yang selalu dipegangnya
adalah kelengkapan ibu dalam pekerjaannya. Seorang wanita yang sudah renta,
bungkuk, dan tanpak lipatan-lipatan kulitnya adalah sosok kebanggaan Santo. Mataharipun
kembali ke peraduannya, azan pun
bersahut-sahutan dari nushalla. Berkumpul menikmati istirahat, ayah, ibu,
adalah kekayaan paling berharga bagi Santo. Dari mereka berdualah Santo belajar
mengarungi samudera kejamnya hidup. Ibu mengelus Santo di samping ayah yang
setia dengan kesabaran dan tabah dalam menghadapi penyakit yang diderintanya.
Ibu mengawali kesunyian dengan bercerita, mengucurkan petuah-petuahnya pada Santo.
Santo anak malang dengan nasib keluarga
menyalahi adat, kehilangan masa-masa indah remaja bersama teman-temanya. Hanya
dengan berani bangga dan syukur atas keluarga yang ia jalani, sembari menatap
ibu, mengalihkan tatapan pada ayahnya.
“Bu…, pak…,
besok Santo pengumuman pelulusan” ucap Santo pada kedua orang tuanya
“Ya nak, ibu
tahu. Tapi ibu tidak bisa datang, dan ibu sudah menemui kepala sekolahmu. Dan
besok kamu bisa ambil sendiri pengumuman itu. Ibu besok harus kerja demi
keluarga ini” sambil mengelus rambut Santo
Semalam
mengukir mimpi, melabuhkan derita. Santo harus giat, dengan semangat yang
kadang tak kuasa, Tuhan tidak adil dengan nasib keluarganya. Hanya insaf dan
sadar akan hikmah dan nikmat bersama keluarga menyadarkan Santo bersama
cita-cita besarnya, membahagiakan kedua orang tuanya. Pendidikan yang ia tempuh
kini sudah ada di ujung beranda penantian, besok adalah hari yang akan
menentukan amanah jerih payah dan perjuangan ibunya membiayai sekolah SMA-nya
selama tiga tahun. Malampun berlalu dengan iringan do`a dan tangis pada yang
maha kuasa, hingga pagipun menjelma kongko[2]`
ayam yang saling bersahutan.
############
Ibu sudah
lebih dulu menghilang, berangkat bekerja. semuanya sudah disiapkan ibu, tanpa
lagi aku harus sibuk dengan pekerjaan rumah, mungkin karena hari ini adalah
hari penentuan nasib pendidikanku dan aku harus berangkat pagi-pagi ke sekolah.
Ayahpun masih tidur di pembaringannya, dengan segelas air minum, sarapan, dan
obat di sampingnya yang setia menemani. Ibu sudah lebih pagi membereskan
pekerjaan rumah di saat aku masih terlelap bersama mimpi. Aku bersiap berangkat
ke sekolah menentukan tanggung jawabku, kelulusanku adalah harapan keluarga
ini. Bersama nyanyian pagi, tetesan embun yang masih sejuk Santo lalui menuju
tempat ia menimba ilmu selama tiga tahun. Tepat jam 08.00 WIB adalah waktu yang
dinanti, bersama teman, hiruk-pikuk guru menyiapkan menata sebuah ruang yang
cukuplah menampung 50 undangan. Kebetulan teman angkatanku hanya berjumlah 50
siswa, sehingga kalau ditakdirkan oleh tuhan, tahun ini sekolah menghasilkan
lulusan sebanyak 50 siswa. Dari sekian banyak daftar nama yang dipanggil ke
depan oleh kepala sekolah, hingga Santo pun mendapat giliran dipanggil untuk
mendapatkan amplop putih berisi surat pelulusan. Hati Santo berdebar,
jantungnya berdetak tak teratur, ragu dan bimbang di saat amplop putih sudah
ada di genggaman tangannya. Santo pun memberanikan untuk membuka amplop putih
itu dan membaca dengan teliti isi surat di dalamnya. Hilang sudah keraguannya,
tangis bahagia melihat tulisan tebal dalam surat pelulusannya. Kata “LULUS”
yang tertulis tebal dengan mode bold italic[3].
Ingin Santo berteriak mengatakan pada dunia bahwa dia lulus dalam pendidikan
SMA-nya dan ingin segera melihat kedua orang tuanya bahagia atas
keberhasilannya.
Segera Santo
pulang, tanpa lagi menghiraukan semuanya, hanya satu, yakni kedua orang tuanya
yang harus tahu kelulusannya, untuk yang yang pertama kalinya. Tanpak dari jauh
samar kerumunan orang di rumah Santo, semakin dekat semakin tanpak pemandangan
itu, penasaran kian tak terbendung, pertanyaan besar yang menghinggapinya. Ada
apa semua ini?. Berusaha menembus kerumunan orang yang ada di rumahnya,
berusaha masuk ke dalam rumah. Tanpak sosok manusia terlentang membujur ke
utara tertutup samper[4],
dan ibu Santo di sampingnya, diiringi do`a-do`a perih ketabahan. Linangan air mata dan isak tangis, Santo
berdiri lemas, air matanya mengalir tak tebendung. Amplop putih di tangan jatuh
tak terasa, pemandangan yang tak seharusnya terjadi. Hari kebahagiaan berganti
tangis keluarga, sang ayah yang seharusnya menjadi orang pertama tahu akan
kelulusannya, tapi kini sudah lebih dulu memilih jalan hidupnya untuk tidak
lagi bersama keluarganya. Hancur terasa perih yang dihadapi Santo.
“Nak… sabar
ya? Ayah sudah dipanggil yang maha
kuasa” ucap ibu lirih sangat menusuk
Santo mendekat
dan merangkul tubuh ayahnya, terlepas sudah tangis dan jerit olehnya. Santo pun
lari, sejauh mata memandang ke pematang sawah, menyobek amplop putih yang
berisi kebahagiaan mendulang tangis. Ternyata orang yang harus mendengar
keberhasilan Santo, sosok yag mengajarkan ia kedewasaan, mendidik, kini telah
pulang pada yang maha kuasa. Berdiri kaku di pematang sawah dengan tangis lepas
dan hidup semakin terasa teriris.
[1]
Dalam Bahasa Madura, Bagian depan rumah, biasanya bentuknya terbuka dan
digunakan sebagai ruang tamu
[2]
Dalam Bahasa Madura, yaitu bunyi ayam jantan di pagi hari
[3]
Dalam Bahasa Inggris, yaitu bentuk tulisan tercetak miring dan tebal
[4]
Dalam Bahasa Madura, yaitu selembar kain yang bentuknya persegi panjang dan
biasa dipakai oleh perempuan-perempuan Madura
Tidak ada komentar:
Posting Komentar